Selasa, 10 September 2013

Habis dari Kazakhstan, SBY Bulatkan Tekad Pindahkan Ibukota RI

Rencana Pindah Ibu Kota dari Masa Ke MasaJakarta dan Banjir Adalah Satu Nafas, Kapan Pindah Ibukota? (Sumber Photo : Metronews.Viva.com) Banjir menjadi berita paling panas saat ini, sebenarnya kalau kita perhatikan setiap lima tahun dalam siklus tahunan Banjir (2002, 2007 dan 2012) maka selalu saja ada lontaran-lontaran penuh semangat agar Ibukota dipindahkan saja keluar Jakarta. Tapi seperti biasanya ide itu kemudian menemukan ruang senyapnya karena manusia Indonesia memang memiliki ciri khas : “Cepat Lupa”. Namun diluar itu sangat menarik bila mempelajari rencana perpindahan ibukota dalam konteks sejarah. Agar kita mengetahui bagaimana orang masa lalu sudah memprediksi sebuah lokasi tepat atau tidak tepat dijadikan Ibukota. Perpindahan Ibukota dalam sejarah Indonesia sebenarnya sudah tidak asing lagi, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI, di masa kerajaan-kerajaan Jawa ibukota sebuah kerajaan sering pindah, yang paling fenomenal adalah perpindahan beberapa kali ibukota kerajaan Mataram-Islam dari Kotagede ke Kerta, lalu ke Plered kemudian ke Kertosuro. Konsepsi perpindahan ibukota pada masa Kerajaan sebenarnya masih dalam konteks kekuasaan, namun selain konteks kekuasaan perpindahan di masa Sultan Agung Anyokrokusumo pada tahun 1618 atas usulan Pangeran Surodono dan Pangeran Harjodipati (keduanya adalah Pangeran dari Demak) dimana ketua Tim perpindahan itu adalah Raden Mas Wiroguno yang kemudian dikenal sebagai Tumenggung Wiraguna, salah satu Panglima Mataram dibawah Panglima Besar Pangeran Mandurorejo yang menyerang Batavia pada tahun 1628 dan kemudian dimakamkan di Batavia (sekitar wilayah Pejaten sekarang). Tumenggung Wiraguna adalah seorang ahli tata kota Jawa, dia yang menyarankan juga pada Sultan Agung untuk merebut Batavia karena Batavia akan dijadikan centrum loji bagi armada perdagangan Mataram yang memerlukan ekspor lada dari Lampung dan menguasai pasar Internasional di Bantam atau Banten, saat itu Mataram mendapatkan tawaran perdagangan lada dari India dan Turki dan membutuhkan pelabuhan di wilayah barat, sementara wilayah timur atau Bang Wetan, Sultan memerlukan Surabaya sebagai pengendali loji dagang armada di wilayah timur untuk merebut Makassar. Menurut catatan arkeolog HJ De Graaf, dengan mengutip referensi de Haen, seorang Belanda yang pernah mengunjungi Mataram untuk urusan bisnis pada tahun 1623, mencatat bahwa : “Perpindahan Ibukota Mataram dari Kotagede ke Plered, tidak didasarkan perpindahan yang menyeluruh tapi sebuah pemecahan antara kegiatan perdagangan dengan kegiatan pemerintahan, terbukti di Plered tidak ada lokasi Catur Gatra, Catur Gatra adalah konsepsi tata ruang kota dalam kosmologi Jawa yaitu : Keraton (Pusat Pemerintahan, Hukum, Keteraturan dan Tertib Sipil), Masjid Agung (Ibadah, Pusat produksi moral masyarakat dan Ketertiban dalam Beragama), Alun-Alun (Pertemuan antara ‘Negara’ dengan ‘Rakyat’ atau lambang kekuatan ‘Negara’) dan Pasar (Bisnis Perdagangan). Seluruh tata kota di Jawa berbasis Mataraman, selalu ada Catur Gatra-nya, namun anehnya di Plered tidak ada ‘Pasar’, yang ada hanyalah Keraton, Alun-Alun dan Masjid Agung. Ini membuktikan bahwa memang perpindahan ibukota Mataram-Islam dari Kotagede ke Plered didasarkan pada pertimbangan memisahkan antara kota administratif dengan kota bisnis. Sultan Agung Anyokrokusumo, Raja Mataram Yang Pernah Memindahkan Ibukota Dari Kotagede ke Plered (Sumber Photo :Sejarah Indonesia) Sementara pusat bisnis tetap berada di Kotagede. Ada satu lagi, dalam tata kota Mataram dibagi konsepsi ruang berdasarkan ketrampilan masyarakatnya, seperti : wilayah Pande besi kerap disebut Pandean, tempat potong ternak disebut Jagalan (pemotongan), tempat hakim disebut Prajeksan dan banyak lagi tempat-tempat berdasarkan kerja dan ketrampilan –namun di Plered wilayah-wilayah kerja itu tidak ada, ini menunjukkan memang Plered hanya disiapkan sebagai ‘ibukota administratif. Pada tahun 1620-an Kotagede menjadi kota yang paling ramai di wilayah selatan Jawa. Kedatangan orang-orang Kalang dari Bali dengan bisnis transportasi gerobaknya membuat perdagangan antara pesisir dan selatan Jawa berkembang hebat, pada masa itu orang Kalang juga membuat rancangan bisnis pegadaian yang menjadi motor atas kegiatan bisnis orang-orang Jawa di masa lampau. Sultan ingin memisahkan kota bisnis dengan kota administratif pemerintahan, maka pada tahun 1615 dibangunlah sebuah lokasi diatas tanah 15 hektar seperti sebuah pulau kecil yang dikelilingi parit, dimana lokasi itu dibangun kompleks keraton, alun-alun dan masjid agung. Di era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, perpindahan ibukota menjadi wacana paling penting dan kerap dijadikan agenda utama dari Gubernur Jenderal yang satu dengan Gubernur Jenderal yang lainnya. Pada masa perang Diponegoro 1825-1830, pernah ada wacana memindahkan ibukota Batavia ke Semarang secara darurat untuk mempermudah lalu lintas pertukaran pasukan. Namun usul itu tidak jadi dilakukan sebab Pangeran Diponegoro keburu kalah setelah pasukan khusus dari Manado dikirimkan ke Semarang dan menembus pertahanan gerilya pasukan Diponegoro di wilayah Banaran dan Magelang Selatan. Stirum dan Perdebatan di Parlemen Gubernur Jenderal JP Limburg Stirum, Gubernur Jenderal Beraliran Liberal dan Amat Monumental Peninggalannya Berupa Modernisasi Kota Bandung (Sumber Photo : Troppenmusium) Pada tahun 1916 di awal masa jabatannya sebagai Gubernur Jenderal-nya, J.P Graaf Van Limburg Stirum mengemukakan rencana-rencana progresifnya di depan Parlemen, yang kemudian dikenal sebagai ‘Stirum Plan’. Dalam pidato itu Stirum mengemukakan empat hal agar Hindia Belanda maju : “Membuat Ibukota yang sehat dan teratur, Memperluas sekolah kedokteran, Membangun pemerintahan sipil yang efektif dan Membangun birokrasi yang mampu menerjemahkan kebutuhan negara kolonial’. Dalam pidato tersebut Stirum menyebut “Bandung sebagai masa depan kita”. “Tak Mungkin Membangun Pemerintahan Kolonial yang Tertata Rapi Tanpa Memperhatikan Kesehatan, Tanpa Memperhatikan Higienis, dan Tanpa Membuat Tata Kota yang Teratur, Kemarin waktu Departement Van Oorlog (DVD) –Departemen Urusan Perang- Hindia Belanda memusatkan Bandung sebagai Markas Militer Hindia Belanda, Bandung sebagai Kota dengan Pertahanan terkuat di Asia, tapi kenapa birokrasi kemudian tidak menggabungkan dengan Militer di Bandung?” (Pidato JP Van Limburg Stirum di Volksraad tahun 1916) Pada masa perluasan agenda Stirum untuk memindahkan ibukota dari Batavia ke Bandung, Stirum mendasarkan diri pada data-data kesehatan yang dikeluarkan oleh para ahli kesehatan publik Hindia Belanda selain itu Stirum mempelajari rencana tata kota dengan teknik lansekap dan udara kota : antara udara yang baik dan udara yang polutif, Pada bulan November 1916, Stirum mengundang H.F Tillema, seorang ahli kesehatan publik tentang kondisi Batavia, di ruangan kerja Stirum H.F Tillema menjelaskan tentang bagaimana Batavia sudah amat kotornya, “Batavia secara kontur terletak di daerah rendah, biasanya daerah rendah rentan terkena berbagai macam penyakit, yang paling dikenal penyakit di Batavia adalah ‘Malaria’. –Sementara angka kematian bayi-bayi di wilayah pesisir Jawa lebih tinggi dengan angka kematian bayi di wilayah pedalaman yang cenderung sehat”. Stirum dikenal sebagai orang yang amat terobsesi dengan keteraturan dan kesehatan, oleh Stirum rencana pemindahan kota menjadi rencana politik yang teratur dan sistematis, rencana Stirum ini mendapatkan perlawanan hebat dari berbagai macam Departemen Pemerintah, utamanya bagi mereka yang sudah terbiasa menjual kekuasaan untuk kongkalingkong dengan pengusaha dalam pengerjaan-pengerjaan proyek publik. Gedung Sate, Monumen Perpindahan Ibukota Hindia Belanda Tekad Stirum terus menguat, ia memerintahkan beberapa ahli planologi dan tata ruang kota untuk membangun sebuah perencanaan yang sistematis tentang sebuah sistem pemerintahan administratif dalam satu kompleks, namun untuk awalnya ia memindahkan beberapa departemen seperti : departemen telepon, departemen urusan air bersih, departemen Meteorologi, Departemen Vulkanologi lalu disekitar lingkungan Departemen, Stirum membangun pusat-pusat riset seperti Penelitian Geologi, Riset Kesehatan Organis dan berbagai macam lembaga riset yang menunjang Bandung sebagai kota modern. Pada tahun 1922 Stirum membuat cetak biru besar Kompleks Pemerintahan Lengkap, yang kemudian baru bisa terlaksana pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk De Graef pada tahun 1929. Pada tanggal 18 Desember 1929 keluar keputusan Gementee Bandoeng berdasarkan keputusan Raadbesluit tentang ijin pembangunan kota Bandung. Keputusan ini merupakan hasil desakan dari kelompok yang mendukung ide Stirum untuk menjadikan kota Bandung sebagai kota Batavia, kelompok Stirum ini didukung oleh salah seorang tentara veteran Perang Dunia Pertama, yang pernah ikut tempur di medan Verdun Belgia, dia adalah Kolonel (Zeni) V.L Slors. Dalam opininya di salah satu koran Belanda, Slors mengemukakan pendapat “Sudah waktunya bagi negeri Hindia Belanda untuk memiliki satu susunan tata kota pemerintahan administratif yang teratur dan efektif jauh dari hiruk pikuk kegiatan bisnis dan segala persoalan sosial yang akut. Bandung akan jadi kota yang nyaman untuk kegiatan-kegiatan pemerintahan kolonial paling mapan di dunia ini”. (Slors, De Telegraaf tahun 1929) Akhirnya setelah disetujui oleh Volksraad dan mendapatkan mandat penting dari Gubernur Jenderal, Sloors membentuk rencana pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung dengan tim terdiri dari G.Hendrik (bidang Planologi), J. Berger (Arsitektuur) dan RH De Roo (Gambar dan Perencanaan). Hasilnya kemudian terkenal dengan nama “Blawdruk Slors”. Lahan seluas 27 hektar disiapkan untuk jadi kompleks pemerintahan paling lengkap, di belakang lokasi lahan ada lahan seluas 5000 meter persegi pada sebuah perbukitan yang rencananya dibangun sebagai rumah peristirahatan Gubernur Jenderal, lahan peristirahatan itu dikenal sebagai “Babakan Siliwangi” sementara bangunan yang dibangun pada kompleks utama kini disebut Gedung Sate. Bung Karno, Mangkok dan Palangkaraya Namun dari seluruh cerita soal perpindahan ibukota, tidak ada yang sedramatik kisah Bung Karno dan Palangkaraya-nya. Kisah ini berawal dari tahun 1950 ketika salah satu pilot pesawat Bung Karno bernama Tjilik Riwut membuat terpesona Bung Karno karena menunjukkan tentang sebuah wilayah yang indah, sebuah lembah yang dikelilingi hutan pada sebuah penerbangan singkat di atas Kalimantan. Tjilik Riwut sendiri adalah orang yang dekat dengan Bung Karno, kedekatan Tjilik Riwut berawal pada tahun 1946, Bung Karno terpesona dengan keberanian seorang pemuda berusia 28 tahun karena kemampuannya berorganisasi dan keberaniannya dalam bertempur, pada bulan Desember 1946 Tjilik Riwut bisa menghadirkan ratusan tokoh Dayak ke depan Bung Karno dan berkomitmen atas pendirian Republik Indonesia, hadirnya tokoh Dayak itu diterima di Gedong Agung Yogyakarta dan disambut dengan tari serimpi ala Keraton Yogyakarta. Hadir dalam pertemuan itu : Sri Sultan, PM Amir Sjarifuddien, Hatta dan Pangeran Prabuningrat. Di dalam pembahasan itu Bung Karno meminta agar para ketua adat bersatu dalam proses kemerdekaan Republiek. Pada tahun 1947 Bung Karno memerintahkan Tjilik Riwut langsung terjun ke Kalimantan untuk membangun koordinasi dengan para tokoh disana, dan memimpin Kalimantan, maka pada tanggal 17 Oktober 1947, Tjilik Riwut memimpin beberapa penerjun payung terjun ke daratan Kalimantan, operasi ini dinamakan MN 1001. Kelak setiap tanggal 17 Oktober diperingati sebagai “Hari Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU”. Terkesan dengan kehebatan Tjilik Riwut di masa revolusi, Bung Karno sering mengajak Tjilik Riwut bila ia berkeliling dengan pesawat dan berkunjung ke Kalimantan. Foto Aerial Kota Palangkaraya Dengan Bunderan Palangka Sebagai Centrum-Kota, Terlihat Kota Palangkaraya Memiliki Keteraturan Tata Kota Yang Baik (Sumber Photo : Aerialcityphoto.com) Saat dipesawat Bung Karno terinspirasi oleh rencana boyongan Ibukota Mataram dari Kotagede ke Plered, Bung Karno tidak mau nanti bila ia terjebak pada ‘Rencana Stirum’ yang saat itu kerap diomongkan oleh para ahli arsitek-arsitek kenamaan Djakarta, bahwa bila Djakarta dipindahkan maka tempat yang paling tepat adalah Bandung, “bila saya memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Bandung, apa bedanya saya dengan Belanda” kata Bung Karno di hadapan beberapa menterinya. Bung Karno kemudian tepekur dalam renungannya. Pembicaraan rencana pemindahan Ibukota pada awalnya adalah menurut istilah Bung Karno ‘Revolusi Lokasi’. Artinya : ‘Segala hal yang berbau kolonial akan dihancurkan untuk digantikan yang baru, sebuah Tata Kota Indonesia yang ‘berkeadilan sosial’. Sebuah Tata Kota yang ramah pada manusia” hal ini diomongken oleh Bung Karno pada saat Bung Karno meresmikan Kota Palangkaraya sebagai sebuah Ibukota Palangkaraya di Kalimantan Tengah tahun 1957 di samping Pasar Pahandut. Ada cerita yang menarik yang banyak beredar di kalangan masyarakat luas, dan sudah menjadi folklor bahwa pemilihan Palangkaraya sebagai ibukota RI, adalah berkat inspirasi Bung Karno di satu sore ketika ia berdiri di beranda Istana Negara. Saat itu ada beberapa Menteri Bung Karno termasuk Semaun dan Chaerul Saleh, Semaun dengan semangat bercerita soal tata kota Sovjet Uni yang dibangun rapi, sementara Chaerul Saleh membangga-banggakan Jerman Barat. Sukarno tiba-tiba meminta ajudannya Letkol Sugandhi untuk membawakan satu mangkok obat kecil berwarna putih bersih, Bung Karno terpejam lalu menumpakkan mangkok itu diatas peta, akhirnya mangkok menutupi Palangkaraya. “Inilah Ibukota Indonesia” kata Bung Karno perlahan. Terlepas dari cerita itu benar atau tidak, tapi niat Bung Karno memindahkan Ibukota merupakan pokok bahasan yang selalu diupdates bila kemarahan masyarakat memuncak setelah banjir dan macet total. Ide Bung Karno memindahkan kota ini menjadi perbincangan ramai di akhir tahun 1950-an, bahkan banyak orang sudah bersiap akan pindah ke Palangkaraya. Di tahun 1961 ada beberapa kali bahasan serius untuk mempersiapkan perpindahan ibukota ke Palangkaraya yang digerakkan RTA Milono, namun rencana ini menumpuk dan gagal menjadi isu besar ketika Bung Karno dengan basah kuyup kehujanan di Yogyakarta berpidato soal Perebutan Irian Barat pada bulan Desember 1961. Palangkaraya dibangun sangat rapi, titik nol dimulai pada bunderan besar, lalu akses-akses yang nembus ke bundaran dibentuk dengan lurus-lurus, oleh Bung Karno jalan lurus itu pernah diwacanakan sebagai landasan pesawat tempur, “Djalan itu cocok untuk landasan pesawat tempur” kata Bung Karno di depan Brigjen Sumitro tahun 1964, saat Brigjen Sumitro baru saja kembali dari Long Bawang, garis depan konfrontasi militer dengan Pihak Malaysia. Palangkaraya dibangun menjadi kota yang amat teratur dan khas Indonesia, bila kita berkunjung ke kota Palangkaraya terutama di wilayah dekat Bunderan Besar Palangka maka yang akan terkenang adalah Kebayoran Baru di tahun-tahun 1970 atau 1980-an, serba rindang dan teratur, Palangkaraya kini memang seperti kota Pegawai. Tata Kotanya tersusun dengan rapi, walaupun udaranya sering panas, namun anginnya adalah angin gunung karena sekeliling palangkaraya adalah hutan lebat. Jonggol, Sebuah Cerita Lain Tentang Pergeseran Ibukota RI (Sumber Photo : clubdangkers.blogspot.com Ide perpindahan Ibukota keluar Jawa jelas tidak akan laku di Jaman Pak Harto, tipikal pemerintahan Orde Baru adalah Pemerintahan Sentralistik, Jakarta adalah pusat dari kekuasaan itu sendiri. Namun pada tahun 1984 ada ide memindahkan ibukota yang dinilai sudah tidak layak ke sebuah wilayah administratif mandiri, ide ini menghebat pada tahun 1987, pada tahun itu ‘spekulasi’ tanah menggila, pusatnya adalah di wilayah Kuningan Jakarta Selatan atau dijulukin sebagai ‘wilayah Segitiga Emas’, para spekulan yang merupakan konglomerat-konglomerat besar memborong tanah di seputaran Kuningan, penggorengan harga tanah ini juga menjadi mainan para spekulan untuk mengolah isu Jonggol menjadi Ibukota RI. Entah ini isu darimana namun yang jelas Presiden Suharto belum pernah mengeluarkan keputusan resmi atau melontarkan ke depan publik tentang Jonggol menjadi ibukota RI, namun spekulan kemudian memburu tanah Jonggol dan harga serta merta naik. Sampai tumbangnya Presiden Suharto pada tahun 1998 perpindahan ibukota dari Jakarta ke Jonggol hanyalah wacana kosong. Dan Ibukota RI tetaplah Jakarta………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar